Problem pendidikan secara hirarki paling tidak dimulai dari apakah problemnya terletak pada filsafat pendidikannya? Ataukah teori pendidikannya? Semakin membumi menjadi problem pada level kebijakan pendidikan? Terus ke bawah problem manajemen pendidikannya? Hingga problem-problem teknis operasional di unit-unit institusi pendidikan (sekolah/kelas). Skemanya seperti itu dan hari ini topiknya ada pada level manajemen pendidikan khususnya di sekolah/madrasah. Kepemimpinan pendidikan di sekolah sebagaimana teori kepemimpinan yang substansinya adalah keterpengaruhan pimpinan terhadap segala SDM di lingkup sekolah dalam rangka tetap berada dalam horizon visi misi sekolah yang menjadi harapan/cita-cita ideal sekolah tersebut. Segala rambu-rambu ideal dalam wujud regulasi yang dibuat negara dari level atas hingga ke bawah adalah dalam rangka standarisasi suatu institusi pendidikan pada nilai kualitas tertentu. Standarisasi berkonsekuensi pada keseragaman sekolah-sekolah di Indonesia yang cenderung pada keunggulan kompetitif antar sekolah ketimbang membangun keunggulan komparatifnya.
Kepemimpinan Pendidikan Dalam Manajemen Mutu
Kepemimpinan pendidikan yang dimaksud merujuk pada kepemimpinan kepala sekolah/madrasah. Hal paling urgen bagi seorang calon kepala sekolah/kepala sekolah adalah memantaskan diri sebagaimana syarat/ketentuan menjadi kepala sekolah. Hal ini sebagaimana yang disentil Nasir (2019) bahwa membangun kemauan yang kuat dari para kepala sekolah maupun calon kepala sekolah untuk bisa mengukur diri berdasarkan segala kualifikasi yang terstandar dalam Permendiknas RI Nomor 13 tahun 2007 tentang standar kepala sekolah/madrasah mulai dari kualifikasi umum (strata pendidikan S1, batasan usia maksimal 56 tahun, pengalaman mengajar minimal 5 tahun kecuali untuk TK selama 3 tahun, pangkat minimal IIIC untuk PNS atau setara dengan kepangkatan dari Yayasan), kualifikasi khusus (berstatus sebagai guru dan bersertifikat pendidik dan SK atau sertifikat sebagai kepala sekolah dari lembaga yang berwewenang) hingga kompetensi yang harus dimiliki (kepribadian, manajerial, kewirausahaan, supervisi dan dimensi kompetensi sosial). Setelah seorang calon/kepala sekolah memenuhi kualifikasi tersebut maka ia mulai melihat kondisi faktual di sekolah dengan berbagai problem yang dideteksi secara dini untuk diambil tindakan-tindakan penyelesaian bagi problem dan melanjutkan hal-hal yang positif. Artinya seorang kepala sekolah harus mengamankan diri terlebih dahulu dalam hal kelayakan normatif sebagai pimpinan di sekolah.
Setelah pengamanan diri dalam syarat-syarat normatif maka kepala sekolah boleh menjalankan roda organisasi sekolah menyusuri horizon visi misi sekolah yang telah ditetapkan. Tentu dalam perjalanannya untuk mencapai mutu dalam versi pemerintah adalah mememuhi segala kriteria dalam 8 Standar Nasional Pendidikan (SNP) menurut PP Nomor 19 Tahun 2005 yang merupakan kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. SNP ini memiliki fungsi dan tujuan dasar (1) sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu. (2) Standar Nasional Pendidikan bertujuan menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. (3) Standar Nasional Pendidikan disempurnakan secara terencana, terarah, dan berkelanjutan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global.
Jika dirujuk secara berurutan dimulai dari (1) standar isi (2) standar proses (3) standar kompetensi lulusan (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan (5) standar sarpras (6) standar pembiayaan (7) standar penilaian pendidikan (8). Nasyirman (2015) secara lebih terperinci menjelaskan bahwa SNP adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan diseluruh wilayah NKRI, yang meliputi 8 (delapan) muatan standar, yaitu: 1) Standar Isi (SI), mencakup lingkup materi minimal dan tingkat kompetensi minimal untuk mencapai kompetensi lulusan minimal pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. 2) Standar Proses (SP), pada satuan pendidikan merupakan pelaksanaan proses pembelajaran secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. 3) Standar Kompetensi Lulusan (SKL), untuk pendidikan dasar dan menengah melaksanakan Peraturan Menteri Nomor 22 Tahun 2006 tentang standar isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah serta Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk satuan pendidikan dasar dan menengah. 4) Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan (SPTK), di mana pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. 5) Standar Sarana dan Prasarana (SSP), Setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan. 6) Standar Pengelolaan (SPl), dalam satuan pendidikan dilakukan oleh manajemen sekolah yang memiliki kewenangan untuk mengelola sekolah sedemikian rupa. 7) Standar Pembiayaan (SPb), yang dilakukan dalam manajemen sekolah sesuai dengan standar nasional pendidikan terdiri atas biaya investasi bantuan pendidikan, biaya personal biaya operasional satuan pendidikan. 8) Standar Penilaian Pendidikan (SPP), yang dilakukan di sekolah dasar mengacu pada sistem penilaian berkelanjutan yang dikembangkan oleh tim jaringan kurikulum. Standar penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan dasar terdiri atas: penilaian hasil belajar oleh pendidik, penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan dan penilaian hasil belajar oleh pemerintah.
Kepala sekolah harus memahami semua regulasi ini dan membuat evaluasi berkelanjutan dengan berbasis kondisi riil di sekolah sehingga terlihat seberapa besar disparitas antara kondisi lapangan dan standar yang ditetapkan dalam regulasi-regulasi tersebut. Bila perlu melakukan riset secara serius untuk mencari tahu dimana problemnya/akar masalahnya, seberapa besar kesenjangan kondisi sekolah dan standar ideal regulasi sehingga proses pengambilan kebijakan/keputusan adalah dalam upaya menyelesaikan problem tersebut serta mengurangi kesenjangan tersebut. Saya yakin bahwa saat akreditasi sekolah para asesor memiliki draf penilaian dengan poin-poinya tersendiri sehingga pada akhirnya diakumuluasi dan disimpulkan sekolah tersebut dalam klaster-klaster/penjenjangan sebagaimana dalam Permendikbud Nomor 13 Tahun 2018 tentang BAN SM dan PAUD dan Pendidikan Non Formal.
Dalam skop yang lebih besar untuk melihat manajemen pendidikan di sekolah, ada dua pendekatan diskursus yakni pendekatan fungsi-fungsi manajemen (perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, dan seterusnya). Sementara pada dimensi yang lain pendekatan manajemen di sekolah langsung pada objek atau sasaran yang dikelola. (Suharsimi Arikunto & Lia Yuliana, 2012). Dua pendekatan yang ditawarkan ini bisa dimainkan secara sekaligus oleh pimpinan sekolah dalam mewujudkan mutu sekolah. Dalam bentuk konkritnya saya contohkan manajemen bisa diterapkan dalam unit perpustakaan dengan sebutan “Manajemen Perpustakaan Sekolah”, demikian juga untuk laboratorium IPA, laboratorium Bahasa, Unit Bisnis Sekolah, Sarana & Prasarana, Manajemen SDM (guru & tendik) serta berbagai objek atau unit lainnya. Di sisi lain, manajemen bisa diterapkan secara gelondongan untuk satu unit sekolah melalui tahapan-tahapan sebagaimana fungsi-fungsi manajemen. Semua pendekatan bisa dilakukan secara konsisten, bertahan dan sistematis.